Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja – Ketentuan Penertiban Tanah Terlantar dan Kawasan Terlantar

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) telah diundangkan pada tanggal 2 November 2020 dengan tujuan utama diantaranya adalah peningkatan investasi dan keterbukaan lapangan kerja. Berbagai peraturan di tingkat undangundang yang mengatur berbagai sektor usaha diubah atau ditambah melalui UU Cipta Kerja yang di dalamnya turut mengatur sektor pertanahan. Sebagai tindak lanjut dari UU Cipta Kerja dalam sektor pertanahan tersebut, maka telah diundangkan peraturan pelaksana yakni Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar (“PP Nomor 20/2021”) pada tanggal 2 Februari 2021 yang mencabut ketentuan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (“PP Nomor 11/2010”) yang dalam perjalanannya dinilai belum efektif mengakomodasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan Tanah Terlantar. Selain itu, seiring dengan perkembangan pembangunan nasional, saat ini berdasarkan fakta di lapangan juga terdapat banyak Kawasan Terlantar dan hal tersebut perlu untuk segera ditangani dengan membuat peraturan terkait.

Adapun beberapa catatan kami mengenai ketentuan perubahan dalam PP Nomor 20/2021 yaitu sebagai berikut:

Definisi Tanah Terlantar dan Kawasan Terlantar

Sebelum UU Cipta Kerja

PP Nomor 11/2010 memberikan definisi Tanah Terlantar dalam penjelasan Pasal 2 secara luas. Tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat yang berwenang.

Sesudah UU Cipta Kerja

Tanah Terlantar

PP Nomor 20/2021 memberikan definisi lebih khusus dari Tanah Terlantar sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 PP Nomor 20/2021. Tanah Terlantar merupakan tanah hak, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara.

Berdasarkan ketentuan di atas, pengertian Tanah Terlantar adalah sama yakni apabila tanah hak (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai), tanah Hak Pengelolaan dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar atas penguasaan tanah yang sengaja tidak dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya.

Kawasan Terlantar

Dalam PP Nomor 20/2021, terdapat terminologi baru yang tidak diatur pada PP Nomor 11/2010 yaitu terminologi Kawasan Terlantar. Kawasan Terlantar merupakan kawasan nonkawasan hutan yang belum dilekati hak atas tanah yang telah memiliki Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan.

Objek Penertiban Tanah Terlantar dan Kawasan Terlantar

Sebelum UU Cipta Kerja

Dalam PP Nomor 11/2010 mengatur bahwa objek penertiban Tanah Terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik (“HM”), Hak Guna Usaha (“HGU”), Hak Guna Bangunan (“HGB”), Hak Pakai (“HP”), dan Hak Pengelolaan (“HPL”), atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan dengan semestinya. Objek penertiban tanah terlantar ini dikecualikan terhadap: i) tanah HM atau HGB atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya; dan ii) tanah yang dikuasai oleh pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus barang milik negara/daerah yang tidak sengaja dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.

Sesudah UU Cipta Kerja

Objek penertiban pada Tanah Terlantar dan Kawasan Terlantar adalah:

  • Terhadap Tanah Terlantar
    Objek penertiban Tanah Terlantar adalah sama dengan ketentuan sebelumnya. Namun dalam ketentuan baru ini, terdapat perubahan terhadap pengaturan pengecualian dari objek penertiban Tanah Terlantar yakni: i) tanah HPL masyarakat hukum adat; dan ii) tanah HPL yang menjadi Aset Bank Tanah. Selain itu, ketentuan baru ini mengatur lebih lanjut adanya kemungkinan bahwa tanah HM, HGB, HP, HPL dan HGU dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah dapat menjadi objek penertiban Tanah Terlantar apabila dengan sengaja tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara dalam jangka waktu tertentu. Contohnya tanah HM akan menjadi objek penertiban Tanah Terlantar jika dengan sengaja tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara sehingga dikuasai oleh masyarakat serta menjadi wilayah perkampungan.
  • Terhadap Kawasan Terlantar
    Objek penertiban Kawasan Terlantar antara lain kawasan pertambangan, kawasan perkebunan, kawasan industri, kawasan pariwisata, kawasan perumahan/permukiman skala besar/terpadu dan kawasan lain yang pengusahaan, penggunaan, dan/atau pemanfaatannya didasarkan pada izin/konsesi/perizinan berusaha yang terkait dengan pemanfaatan tanah dan ruang.

Berdasarkan ketentuan dalam PP Nomor 20/2021 ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan bagi tanah HM, HGB, HP, HPL dan HGU dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah menjadi objek penertiban Tanah Terlantar. Namun demikian, unsur “kesengajaan” menelantarkan tanah wajib dipenuhi untuk menjadikan tanah tersebut sebagai objek penertiban Tanah Terlantar. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya penelantaran tanah, dan lebih memberikan kemanfaatan kepada masyarakat. Objek penertiban Tanah Terlantar ini tidak berlaku terhadap tanah HPL masyarakat hukum adat guna melindungi kepentingan dan penggunaan tanah tersebut untuk kesejahteraan masyarakat hukum adat.

Selain itu, ketentuan baru ini juga mengatur objek Kawasan Terlantar dengan tujuan dari penertiban Kawasan Terlantar ini adalah untuk mengantisipasi atau meminimalisasi dampak negatif dari penelantaran kawasan, seperti semakin tingginya kesenjangan sosial dan ekonomi serta semakin menurunnya kualitas lingkungan.

Artikel secara lengkap dapat diunduh pada link berikut :