Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) telah diundangkan pada tanggal 2 November 2020 dengan tujuan utama diantaranya adalah peningkatan investasi dan keterbukaan lapangan kerja. Berbagai peraturan di tingkat undangundang yang mengatur berbagai sektor usaha diubah atau ditambah melalui UU Cipta Kerja.
Dalam rangka menyederhanakan proses perizinan berusaha, UU Cipta Kerja mengamanatkan mekanisme penerbitan Perizinan Berusaha di Indonesia dengan menggunakan Pendekatan Berbasis Risiko/Risk Based Approach (“RBA”). Dalam RBA, untuk menetapkan jenis Perizinan Berusaha yang akan diberlakukan untuk kegiatan usaha tertentu mengacu dan tergantung pada tingkat risiko dari kegiatan usaha tersebut. Dengan penerapan RBA ini diharapkan akan menjadi solusi penyederhanaan proses perizinan dengan tetap menggunakan sistem OSS. Dengan demikian, untuk Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dengan tingkat risiko yang lebih rendah, tentunya jenis perizinan berusahanya akan relatif lebih simple dan straight forward dibandingkan dengan kegiatan usaha dengan tingkat risiko yang lebih tinggi.
Untuk melaksanakan ketentuan dalam UU Cipta Kerja terkait dengan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko ini, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP No. 5/2021”) yang diundangkan pada tanggal 2 Februari 2021. Adapun secara garis besar ketentuan-ketentuan dari PP No. 5/2021 ini yang menurut kami perlu diketahui oleh pelaku usaha, antara lain:
Kewajiban Pelaku Usaha Untuk Memulai Dan Melakukan Kegiatan Usaha
Dalam Pasal 4 PP No. 5/2021 mengatur bahwa pelaku usaha wajib memenuhi beberapa persyaratan sebelum memulai dan melakukan kegiatan usahanya, yakni: (a) persyaratan dasar Perizinan Berusaha; dan/atau (b) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PBBR”). Persyaratan dasar Perizinan Berusaha dalam poin a tersebut meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi dimana masing-masing persyaratan dasar tersebut akan diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang, lingkungan hidup, dan bangunan gedung.
Selain itu, PBBR dalam poin b di atas, meliputi sektor: kelautan dan perikanan; pertanian; lingkungan hidup dan kehutanan; energi dan sumber daya mineral; ketenaganukliran; perindustrian; perdagangan; pekerjaan umum dan perumahan rakyat; transportasi; kesehatan, obat, dan makanan; pendidikan dan kebudayaan; pariwisata; keagamaan; pos, telekomunikasi, penyiaran, dan sistem transaksi elektronik; pertahanan dan keamanan; dan ketenagakerjaan.
Tingkat Risiko PBBR
PBBR dilakukan berdasarkan tingkat risiko dan peringkat skala usaha suatu kegiatan usaha. Penetapan tingkat risiko dan peringkat usaha tersebut diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya. Penilaian tingkat bahaya dilakukan terhadap aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan/atau pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya. Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya dapat mencangkup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha, yang dilakukan dengan memperhitungkan: (a) jenis kegiatan usaha; (b) kriteria kegiatan usaha; (c) lokasi kegiatan usaha; (d) keterbatasan sumber daya; dan/atau (e) risiko volatilitas. Selain itu, penilaian potensi terjadinya bahaya meliputi: (a) hampir tidak mungkin terjadi; (b) kemungkinan kecil terjadi; (c) kemungkinan terjadi; atau (d) hampir pasti terjadi.
Berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan penilaian potensi terjadinya bahaya, maka pemerintah menetapkan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha menjadi: (a) kegiatan usaha berisiko rendah; (b) kegiatan usaha berisiko menengah; atau (c) kegiatan usaha berisiko tinggi.
Berikut adalah gambaran PBBR yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha berdasarkan tingkat risiko kegiatan usahanya:
Artikel secara lengkap dapat diunduh pada link berikut :